Akhir-akhir ini perdagangan anak dan perempuan
(trafficking in children and women), terutama yang terjadi di Asia,
muncul sebagai masalah pokok yang menjadi sorotan dunia. Perdagangan
manusia, dengan alasan apapun juga, merupakan pelanggaran serius
terhadap hak-hak azasi manusia. Sayangnya, pelanggaran ini ternyata
juga terjadi di Indonesia dalam skala yang cukup memprihatinkan.
Pada bulan Maret tahun 2000 pemerintah Indonesia
memutuskan untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak dengan mengeluarkan UU No.1 Tahun 2000. Konvensi ini
menyatakan bahwa penjualan anak dan perdagangan anak sesungguhnya
adalah suatu bentuk perbudakan atau praktek serupa perbudakan yang
pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan itu sendiri. Karena
itu, penjualan dan perdagangan anak termasuk salah satu bentuk terburuk
perburuhan anak.
Konvensi ILO No. 182 amat menekankan pentingnya
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak.
Negara-Negara yang telah meratifikasi Konvensi ILO No. 182 berkewajiban
menuangkannya ke dalam perundang-undangan (UU) dan melaksanakannya
melalui program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan
mencegah bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak: memberikan bantuan
langsung yang dimaksudkan untuk merehabilitasi anak-anak yang telah
menjadi korban dan mengupayakan supaya mereka dapat kembali ke masyarakat,
diterima kembali oleh lingkungannya, dan menjalani kehidupan bermasyarakat
yang wajar sebagaimana anak-anak lainnya, memberikan kesempatan
kepada mereka untuk memperoleh pendidikan secara Cuma-Cuma; mengidentifikasikan
anak-anak yang mempunya resiko tertentu (misalnya anak-anak yang
dipekerjakan sebagai pelacur dan beresiko terinfeksi virus HIV)
serta memberikan perhatian lebih kepada anak-anak perempuan sehubungan
dengan situasi khusus yang harus mereka hadapi.
Adapun definisi trafficking dibawah Konvensi 182
adalah kegiatan mencari, mengirim, menampung, atau menerima tenaga
kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya,
dengan cara menculik, menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan
mengiming-imingi) korban, menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau
memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan
dan tidak adanya perlindungan terhadap korban atau dengan memberikan
atau menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan ijin/persetujuan
dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas
diri korban, dengan tujuan untuk mengisap dan memeras tenaga (mengeksploitasi)
korban.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Organisasi Perburukan
Internasional (ILO) melalui Program Penghapusan Perburuhan Anak
(IPEC) secara aktif memonitor dan berupaya menggulangi masalah perdagangan
anak di seluruh dunia. Dewasa ini program-program yang ditujukan
untuk menghapuskan perdagangan anak telah dilaksanakan di negara-negara
yang wilayahnya termasuk dalam daerah aliran delta sungai Mekong
(Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Propinsi Yunnan di China), Asia
Selatan (Nepal, Bangladesh, Sri Lanka), Amerika Selatan (Brazil
dan Paraguay) serta Afrika Tengah dan Afrika Barat (Benin, Burkina
Faso, Pantai Gading, Kamerun, Gabon, Ghana, Malai, Nigeria and Togo).
Program serupa akan segera dimulai di Filipina dan Indonesia.
Suatu penelitian akhir-akhir ini baru saja dilakukan
oleh ILO-IPEC bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial
Universitas Indonesia dimana informasi yang terkumpul pada penelitian
ini memperkuat dugaan bahwa perdagangan anak ternyata telah menjadi
masalah yang sangat serius di Indonesia. Informasi yang ada menunjukkan
semakin banyaknya anak-anak yang direkrut dan dijual baik di dalam
maupun di dalam maupun di luar negeri oleh jaringan perdagangan
anak yang terorgansir. Anak-anak yang dijual sebagai tenaga kerja
di luar menajdi sasaran empuk untuk dieksploitasi, terutama setelah
mereka tiba di negara tujuan yang sama sekali asing bagi mereka.
Di sana mereka tiba di negara tujuan yang sama sekali asing bagi
mereka. Di sana mereka mempunyai pilihan lain selain menggantungkan
nasib mereka sepenuhnya pada belas kasihan majikan yang mepekerjakan
dan pihak berwenang di luar negeri, sringkali mereka tidak dapat
lagi berhubungan dengan orang tua mereka di tanah air.
Ada beberapa jenis perdagangan anak. Masing-masing
memiliki pola tersendiri. Pola ini berbeda-beda dari satu daerah
lainnya dalam wilayah suatu negara. Namun hasil penelitian ini hanya
menguraikan dan membahas jenis-jenis perdagangan anak sesuai dengan
yang diminta oleh ILO-IPEC, seperti misalnya faktor-faktor pemicu
perdagangan anak, yang mengandung unsure eksploitasi tenaga kerja,
termasuk eksploitasi seksual. Sedangkan jenis-jenis perdagangan
anak lainnya, seperti praktek jual beli anak untuk keperluan adopsi
dan transplantasi organ tubuh manusia, tidak dibahas dalam penelitian
ini.