english | bahasa indonesia depan | pekerja anak | bentuk terburuk

 

 

 

 

 

 

 


Eksploitasi Anak dalam Pelacuran dan Pornografi

Eksploitasi seksual komersial terhadap anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang paling brutal.

Kondisinya bahkan semakin memprihatinkan karena ada kecenderungan frekuensi kegiatan ini semakin meningkat, tidak hanya terjadi di negara-negara lain tetapi juga di Indonesia.

Akibatnya bagi anak - anak

Anak-anak yang menjadi korban sangat menderita secara fisik, sosial psikologis dan emosional. Mereka mudah tertular penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS. Seringkali mereka diperkenalkan dengan obat-obatan terlarang yang berfungsi untuk mengendalikan mereka, yang penggunaannya dalam waktu yang lebih lama akan sangat membahayakan hidup mereka dan semakin sulit disembuhkan. Saat ini semakin banyak anak berusia di bawah umur dicari untuk dimanfaatkan dalam bisnis seksual komersial tersebut dengan anggapan anak kecil pasti belum terjangkit PMS, padahal merekalah yang paling mudah terinfeksi karena secara biologis, anak kecil lebih rentan terhadap PMS. Dari beberapa studi kasus dan kesaksian para korban, diketahui bahwa mereka menderita trauma yang amat mendalam sehingga seringkali sulit bisa kembali hidup normal.

Prostitusi dan pornografi di Indonesia

Tidak ada penelitian lengkap yang pernah dilakukan mengenai masalah ini. Sumber resmi pemerintah (Buku Putih Binrehabsos 2000) mencatat jumlah pekerja seks di Indonesia berjumlah 73.990 orang. Tetapi sumber lainnya mencatat bahwa di Indonesia sedikitnya ada 650.000 pekerja seks dan 30%-nya berusia di bawah 18 tahun. Pelacuran anak juga berkait erat dengan eksploitasi anak dalam bidang pornografi. Pemaksaan anak untuk masuk ke dalam dunia pornografi seringkali merupakan faktor pencetus eksploitasi anak ke dalam dunia pelacuran. Di Bali, diketahui bahwa anak-anak dieksploitasi ke dalam dunia pornografi untuk konsumsi para pedofil. Daerah rawan pelacuran tersebar di seluruh kota besar di Indonesia.

Tindakan IPEC

Sampai saat ini dengan bekerja sama dengan Universitas, LSM, IPEC baru melaksanakan kegiatan penelitian mengenai pelacuran anak di Jawa. Sebagai tindak lanjutnya, bekerja sama dengan Pusat Studi Pengembangan Pariwisata UGM, ILO/IPEC menyelenggarakan lokakarya nasional mengenai pelacuran anak di Indonesia di Yogyakarta. Dalam waktu dekat ini ILO/IPEC juga akan menerbitkan buku mengenai pelacuran anak di Indonesia. IPEC belum memiliki program aksi terhadap pelacuran anak di Indonesia. Tetapi telah direncanakan Indonesia sebagai salah satu negara yang mendapat prioritas utama melaksanakan program Aksi tersebut. Di negara lain, IPEC sudah melaksanakan program aksi seperti:

Program Aksi IPEC di Thailand

IPEC mendukung "Pusat Pengembangan dan Program Pendidikan bagi anak Perempuan dan Masyarakat" untuk mencegah anak-anak dari praktek pelacuran dengan cara memberikan pendidikan bagi anak perempuan yang beresiko tinggi mengalami eksploitasi.

Program Aksi IPEC di Brazil

Melalui "Confederacao Nacional dan Industria" suatu organisasi industri terbesar di Brazil, IPEC meluncurkan 2 proyek percontohan yang saat ini sedang dijalankan. Proyek ini bertujuan mencegah anak-anak jatuh ke dunia pelacuran dengan memberikan pendidikan formal, pelatihan kerja dan berbagai kegiatan santai atau kegiatan kreatif lainnya. Juga diadakan program peningkatan pendapatan keluarga bagi anggota keluarga dewasa.

Perjalanan Hidup

Nama saya Astri. Umur 14 tahun, Saya berasal dari desa Bunga Sari Japatan di daerah Indramayu. Orang tua saya petani yang tidak punya sawah, jadi bekerjanya menjadi buruh disawah orang. Saya anak sulung dari dua bersaudara. Adik saya Anto baru berusia 6 tahun sudah sekolah kelas I, sedangkan saya putus sekolah di kelas IV SD karena orang tua tidak mampu membiayai dan juga kesulitan untuk makan sehari-hari. Saya memutuskan bekerja menjadi pelacur, karena satu-satunya jalan untuk mendapatkan biaya sekolah atau membantu pengeluaran saya dan keluarga saya. Orang tua saya tidak keberatan, karena dikampung saya sudah biasa anak perempuan bekerja jadi pelacur.

Saya baru 7 bulan berada dilokasi di Jakarta ini. Tetapi saya sudah tahu dan telah melakukan pekerjaan itu sejak berusia 14 tahun kurang. Sebelum ke Jakarta ini, pertama saya bekerja sebagai gituan saya lakukan di Tanjung Pinang selama 6 bulan. Disana ada sekitar 200 orang pelacur dari berbagai daerah. Usia mereka beragam dari mulai 14 tahun seperti saya sampai yang berusia diatas 30 tahun. Lokalisasi ini biasanya melayani tamu-tamu yang bekerja sebagai pelaut, selain pelaut lokal ada juga pelaut asing seperti dari Malaysia atau Thailand.

Saya belum pernah kena penyakit, paling gatal-gatal, pusing dan masuk angin tapi kawan-kawan saya banyak yang sudah mengalami penyakit kotor, katanya namanya Raja Singa, rasanya sakit sekali. Saya juga mendengar bekerja seperti ini bisa terkena penyakit eit. (AIDS).

Saya tidak mau bekerja begini terus-menerus. Kalau saya sudah bisa beli sawah dan membangun rumah, saya mau berhenti dan mau tinggal dirumah menggarap sawah. Kalau ada yang mau mengawini saya, saya juga mau menikah.

Sumber: Laporan Penelitian ILO/IPEC-YKB-Univ. Atma Jaya - Univ. Airlangga: Anak yang dilacurkan