arsip | wedsite | other blog | kirim sms

17.5.03  

aku lagi nga enak badan. kemarin kita ke dufan, sama tika. seneng banget sih, naik banyak wahana, termasuk wahana yang baru, wings dan poci-poci. tapi ada satu wahana yang baru kicir-kicir, kita nga sempat naikin, abis udah kesorean dan ngantri banget. berbahaya nga sih? ngeri banget soalnya.

hmm....nga punya duit nih. hiks.... abis ada banyak keperluan sih. :) semoga nanti ada banyak rezeki lain. amin.

Irfan Toni H | 1:56 PM |


15.5.03  

kenapa sih, komputernya james rusak pada saat libur? untung cuma masalah reset cable modem. dia juga katanya mau jalan-jalan ke europe, dan minta supaya aku belim batre cadangan laptop, setup koneksi di luar pake RadNet. Ada nga sih?

alhamdulillah, rani melahirkan di jakarta, di rs gatot subroto kamar 612, ruang kartika. eh, laki-laki apa perempuan ya?

Irfan Toni H | 1:07 PM |


14.5.03  

hari ini ketemu sama mas boby di ykai. haha, dia punya kamera baru dari creative. seharusnya sore ini aku ketamu mas bambang, tapi musti ngerjain laporan dari ykai dulu. hmm...

besok, adalah libur panjang maulid. sekaligus liburan panjang dari pemerintah. ngapain ya? beresin skripsi? itu pasti. eh, gimana kalau ada alat yang bisa ngerjain semua hal dalam sekejap mata? bisa nga sih? hahaha...paan sih loe fan, usaha man!

Irfan Toni H | 4:28 PM |


13.5.03  

kemarin keujanan, di kampus, tapi dari sana ada beberapa perbaikan dari mas Bambang. Ini pertemuan yang ketiga.komponen penelitiannya harus dilengkapi lagi. musti dibikin lebioh ringkas. seharusnya ke ykai, tapi mas bobby nya sakit, di jadwal ulang buat besok. ada banyak hal yang harus dikerjain, termasuk di www.enterpreneurcommunity.net

Irfan Toni H | 11:21 AM |


11.5.03  

Nanananana....hari ini ngga kemana-mana. Mau ke tempat mas Bambang. Malam ini aku tidur sendiri di kos, duuhh...merana. eh, bagusan mana ya? Encyclopedia Britanica atau Encarta?

Irfan Toni H | 5:50 PM |
 

Seandainya saja aku punya mesin waktu. Hmm.......keren juga kali ye? Hehehehe...ngga tau kenapa ada lintasan ide kayak gitu.

Eh, aku juga baru bikin tulisan buat dikirim ke Majalah Saksi. Ini dia, judulnya "Menggenggam Pasir"

Mengenggam Pasir

Matahari telah hampir tenggelam ketika dua orang tampak sedang menyusuri pantai. Keduanya melangkah perlahan, kaki-kaki mereka terlihat bergerak mengikuti pergerakan senja. Warna merah keemasan di atas ufuk, menambah suasana malam kian kental. Tak ada suara, tak ada pekik-pekik camar disana. Debur ombak pun terdengar lirih. Yang ada hanya bunyi hembusan nafas yang teratur.

“Guru, waktuku belajar telah hampir usai. Besok aku akan kembali ke istana dan di nobatkan menjadi raja baru. Tapi, ada satu pesan yang dibisikkan Ayah kepadaku, dan sampai kini aku masih tak mengerti.” Keduanya masih tetap berjalan perlahan, “Menjadi raja itu seperti mengenggam pasir, begitu kata Baginda. Apa maksud perkataan itu, Guru?”

Layaknya seorang yang bijak, sang Guru terdiam sesaat. Beberapa jeda waktu terlewat, resi tua itu berkata, “Kalau itu titah baginda, mari, kutunjukkan sesuatu.” Diajaknya sang muridnya ke arah daratan, “Ambilkan aku segenggam pasir disana!” Sang calon raja itupun menurut. Bergegas, dikerjakannya perintah itu. Tangannya segera meraih pasir disana, dan di genggamnya erat-erat.

Namun, pekerjaan itu ternyata tak semudah yang dibayangkan. Saat pasir itu digenggam, banyak sekali yang berhamburan. Butir-butir pasir, selalu menyelusup diantara jari-jari. Makin kuat kepalan itu dieratkan, makin banyak pula butiran pasir yang terjatuh. Sekali lagi sang murid itu merengkuh segenggam pasir, namun lagi-lagi ia menemui hal yang sama. Tampaknya, sang calon raja itu gagal menunaikan perintah. “Guru, mengapa begitu sedikit pasir yang kudapat? Apakah tanganku tak cukup kuat, genggamanku tak cukup erat?” Ada raut wajah kecewa disana.

“Mari, mendekat kepadaku.” Murid itu segera mendekat, “Ayahmu benar, menjadi raja memang seperti mengenggam pasir. Butuh kebijaksanaan dan jiwa yang besar. Lihatlah, makin erat kau kepal, makin banyak pula yang hilang. Makin banyak pasir yang keluar dari sisi-sisi jarimu.” Sang murid tampak serius memperhatikan. Wajahnya mengangguk-angguk perlahan, “Tapi, cobalah kau ambil pasir itu dengan tangan terbuka. Tangan yang menghadap ke atas, niscaya tak akan banyak yang terbuang percuma. Tangan yang terbuka, akan dapat menjadi wadah yang baik untuk semua pasir disana.”

“Begitupun menjadi raja. Seorang raja, akan membutuhkan tangan yang selalu terbuka dalam menerima keluh kesah rakyatnya. Seorang raja, akan perlu tangan yang menjadi wadah, tempat bagi semua rakyatnya berkumpul. Jangan kau kepalkan telapakmu, jangan kau eratkan genggamanmu. Biarkan terbuka, agar makin banyak yang berhimpun disana. Biarkan tertangkup, agar tak hilang apa yang ada dalam sana.”

Sang calon raja terdiam merenungi perkataan itu. Saat fajar merekah besok, ia akan menjadi raja yang baru. Kepalan tangan dan butiran pasir menjadi tempat baginya menemukan jalan kebijaksanaan. Esok, ia akan menjadi raja dengan “tangan terbuka” bukan menjadi raja dengan “tangan terkepal”

***

Menjadi seorang raja, bisa jadi sama halnya dengan menjadi manusia biasa. Di dalamnya setiap orang akan punya kesempatan untuk belajar dari hal-hal sederhana. Karena sesungguhnya saya percaya, bahwa menjadi siapapun, kita sebaiknya wajib untuk menemukan jalan-jalan menuju kebijaksaan. Dan, telapak tangan serta butiran pasir pun, layak menjadi jalan kebijaksaan itu.

Pernahkah kita merasa ingin sekali mengenggam dunia? Adakah terlintas dalam pikiran, untuk menghimpun semuanya dalam satu kepalan? Saya percaya, ada sebagian dari kita yang demikian. Namun, saya juga percaya, bahwa dunia dan kebahagiaan, tak selamanya di dapat dengan tangan yang mengenggam atau telapak yang mengepal. Semakin bernafsu kita mempererat genggaman, semakin banyak yang akan hilang. Semakin keras kita berusaha mengepalkan tangan, semakin banyak pula yang terlewat lewat jemari kita.

Adakah kita berusaha menggapainya dengan tangan yang terbuka? Bisakah kita meraihnya dengan tangan tengadah, tertangkup seakan penuh harap berdoa kepada-Nya? Saya percaya, itulah jalan-jalan yang terbaik. Bukan dengan menggenggam keras, atau mengepal penuh nafsu. Bukan dengan meremasnya penuh tenaga, atau melumatnya hingga habis tenaga. Tapi dengan tangan yang toleran bukan yang membenci, tangan yang mengayomi bukan yang menceraikan, tangan yang sabar bukan yang bernafsu, tangan yang tekun bukan yang terburu-buru.

Saya percaya, tangan-tangan semacam itulah yang menjadi jalan-jalan kebijaksanaan buat kita.

Irfan Toni H | 12:22 AM |
 

Alhamdulillah bisa. Hehehehehe...ah mendingan pake Tripod aja. Ngga repot dan gampang. Aku masih ngetik skripsi di rumah Pamulang. Sholihaku udah tidur. Sleep well ya sayang. :)

Besok mau lari pagi sama dia. Yuhuu...sambil makan bubur ayam. Jangan lupa transfer ya!

Irfan Toni H | 12:18 AM |
 

Kalau nyang ini bisa nga?

Irfan Toni H | 12:06 AM |