Kajian Media
  Anak dan Playstation
  Anak dan Televisi
  Anak dan Komik
  Anak dan Iklan
   
 
 

 

Anak dan Televisi

Corporate Secretary RCTI Taufik Arifin mengakui, industri televisi tak memiliki standar nilai yang jelas atas keinginan masyarakat, akibatnya seringkali menayangkan acara yang manfaatnya rendah bagi masyarakat. Di sisi lain, fungsi televisi sangat simpel yaitu sebagai tukang tayang. Akibatnya, pengelola televisi mengalami dilema untuk memuaskan keinginan pemirsa televisi. Sekarang ini, kita hanya bisa memilih tayangan yang terbaik dari yang jelek. (Republika, 15/7/00)

Mutu film bernapaskan keislaman umumnya masih rendah. Di sisi lain, stasiun televisi swasta di Indonesia belum memiliki hubungan langsung dengan agensi di Timur Tengah dan Eropa Timur. Hal tersebut diungkapkan stasiun televisi swasta seperti SCTV, RCTI, dan Indonesia, berkaitan dengan keluhan para pemirsa di berbagai surat pembaca media cetak yang menyebutkan minimnya tayangan bernapaskan keislaman di TVRI maupun televisi swasta. (15/7/00)
Menurut Garin Nugroho, pertumbuhan industri televisi Indonesia mengarah pada pertumbuhan teknokapitalisme. Akibatnya, di tengah pertumbuhan, televisi Indonesia kehilangan etika. Di sisi lain, pertelevisian Indonesia pun menciptakan sensasi budaya. Saat ini televisi tak melayani wilayah edukasi. TVRI, bertahun-tahun hanya dijadikan media propaganda pemerintah, sementara televisi swasta hanya melayani wilayah waktu senggang ibu-ibu rumah tangga. Televisi seharusnya juga memberi pembelajaran kepada masyarakat untuk konsentrasi panjang menonton program-program pendidikan. (Republika, 11/7/00)

Bustal Nawawi menyatakan, pengelola televisi swasta hendaknya tak menanggap usaha di bidang media, seperti halnya mengelola usaha umum. Menurut Bustal, mereka harus bisa dan mau membuat program acara tahunan yang konsepnya benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Karenanya, mereka perlu memahami visi pengembangan televisinya, sehingga mereka bisa membuat strategi broadcast. Dengan cara itulah mereka bisa menawarkan program yang edukatif bagi masyarakat, sebab sebelum menayangkan suatu acara, mereka tahu betul item apa yang perlu ditawarkan kepada publik, tema apa yang harus disiarkan. (Republika, 11/7/00)

Menurut Garin Nugroho, memasuki era globalisasi, seharusnya stasiun televisi lokal di berbagai daerah di Indonesia bisa lebih berkembang. TV lokal hendaknya menampilkan budaya masyarakat setempat yang dikemas dengan baik. Melalui TV lokal yang dikemas secara profesional, pada masa mendatang bukan saja bisa memunculkan tokoh-tokoh lokal dan menggali budaya-budaya, tetapi juga menyelamatkan budaya yang sudah hampir punah. (Republika, 6/7/00)

Menurut Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Arselan Harahap, tingginya budaya menonton TV itu diyakini tidak ada kaitannya secara langsung dengan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Selama 10 tahun ini, masyarakat kita sudah terseleksi. Mereka akan menonton acara televisi hanya yang menarik saja, dan itu berarti kebiasaan membacanya tidak akan terganggu. (Republika, 6/7/00)

Televisi adalah media penyiaran yang paling efektif untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam suatu negara. Sayangnya, selama ini keberadaannya di Indonesia belum bisa digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Untuk itulah diperlukan sebuah lembaga penyiaran yang benar-benar berasal dan berpihak pada rakyat, yang disebut "TV Publik". Demikian dikatakan Garin Nugroho pada acara deklarasi Komunitas Televisi Publik Indonesia (KTVPI). (Kompas, 4/7/00)

Pengamat masalah kebudayaan dan agama Ahmad Sahal melihat besarnya pengaruh pesan sponsor pada penghargaan nilai-nilai kultur dan religius yang ada di Indonesia. Karena sibuk menyampaikan pesannya masing-masing, media melupakan masalah pendidikan moral di kalangan rakyat Indonesia. Akibatnya, terjadi apa yang disebut pembatasan independensi pers oleh sekelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ini membatasi kebebasan media dengan mengatasnamakan keinginan seluruh atau sebagian besar rakyat Indonesia. Untuk itulah diperlukan TV publik sebagai lembaga kontrol dalam masyarakat, yang akan melihat masalah secara nasional. Selain itu, TV publik juga menjamin kemurnian tujuan pendidikan moral di kalangan masyarakat. (Kompas, 4/7/00)

Aris M Irawan mengemukakan, di negara Amerika, Jepang dan Singapura, peranan pemerintah dan dukungan publik terhadap kelangsungan hidup TV publiknya sangat jelas. Pemerintah negara-negara tersebut membatasi siaran-siaran TV swasta dengan saluran khusus seperti TV kabel. Hal ini bisa terwujud, karena kontrol kekuatan publik terhadap pemerintahan sangat besar. (Kompas, 4/7/00)

Manajer Humas SCTV, Budi Darmawan menyatakan, acara buat anak yang terbaru dibuat SCTV ialah Pesta Bintang. Program tayangan Pesta Bintang sejalan dengan kebijakan SCTV untuk memperhatikan kebutuhan terhadap program anak-anak. Kini setiap pekan SCTV menyediakan waktu 10,5 jam tayang bagi program acara anak-anak. (Republika, 29/1/00)

Menurut Dedi Setiadi, sutradara yang juga pengamat sinetron, sebagian besar sinetron yang dikeluarkan pihak televisi tidak mendidik. Yang ada adalah melihat kekayaan, kekerasan, juga potret budaya impor. Padahal kalau melihat kenyataan di masyarakat, jelas bertolak belakang. Televisi boleh saja menayangkan "potret" rumah tangga metropolis di program acaranya. Tapi semua itu dibutuhkan keseimbangan, supaya rakyat atau masyarakat bisa melihat cermin kehidupan mereka. (Surabaya Post, 11/1/00)

Kehadiran televisi publik di Indonesia harus disertai regulasi baru dengan menyertakan UU Penyiaran. Faktor lain yang dibutuhkan adalah mencari model yang tepat - apakah menggunakan model Australia, Eropa, Amerika Serikat, dan sebagainya - dan itu diserahkan sepenuhnya kepada TVRI sebagai televisi publik.
Televisi publik selain harus independen dari kekuasaan ekonomi, negara, mandiri dan pemerintah yang berkuasa, juga tetap berpegang pada debat kritis, nilai hiburan, informasi spesialisasi, universalitas, serta berpihak pada pada kaum minoritas. Demikian dikatakan Garin Nugroho pada acara seminar sehari "Peran Televisi dalam Menjaga Nilai Luhur Budaya Bangsa dan Citra Bangsa". (Kompas, 22/8/00)

Menurut pakar kriminologi Prof. Dr. Tb. Ronny Nitibaskara, tayangan televisi mendapat tudingan negatif. Meruyaknya aksi kekerasan, baik yang berhubungan dengan kasus-kasus kriminalitas maupun aksi 'main hakim sendiri' terhadap para pelaku kejahatan, yang menghiasi kehidupan masyarakat di kota-kota besar belakangan ini, dianggap banyak dipengaruhi oleh tayangan televisi (TV). (Republika, 22/8/00)

Kapolda Jatim, Irjen (Mayjen) Pol. Da'i Bachtiar, menyatakan bahwa dari sejumlah kasus kejahatan yang ditangani Polda Jatim nyaris semuanya terilhami oleh tayangan yang ada di TV. Menurutnya, banyak penjahat mengakui bahwa mereka melakukan aksinya banyak meniru tayangan di TV. (Republika, 22/8/00)

Menurut mantan Menteri Penerangan Alwi Dahlan, seharusnya ada etika yang diterapkan oleh para pengelola televisi dalam melihat dan menyiarkan suatu kasus, apakah hal tersebut patut ditayangkan atau tidak. Pemberitaan tidak boleh menyesatkan penonton atau mendorong orang untuk melakukan kejahatan. Para pengelola televisi harus mencari cara agar penayangannya tidak membuat masyarakat ingin menirunya. Misalnya, angle atau sudut pandang pemberitaan, cara penyajian dan sebagainya. (Republika, 24/8/00)

Pakar Komunikasi UU Bachtiar Aly, mengungkapkan perlunya media televisi mengedepankan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Belakangan ini televisi bukan hanya melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik tetapi juga kode etik periklanan. Banyak iklan yang ditayangkan di televisi yang mengeksploitasi anak, atau pada jam-jam prime time ditayangkan iklan-iklan yang tidak pantas. Hal tersebut dimungkinkan karena masih longgarnya peraturan yang ada di Indonesia sekaligus lemahnya pengawasan. (Republika, 24/8/00)

Yosal Iriantara dalam artikelnya "Masyarakat Melek Televisi" menulis, di Indonesia sampai sejauh ini belum muncul tradisi mengkaji televisi dengan kritis. Kita lebih asyik membahas dampak positif atau dampak negatif televisi. Tapi belum banyak yang berupaya untuk mengkritisi televisi sebagai "hal yang kini sulit dihindarkan". Karena sulit dihindarkan, kehadiran televisi tentunya harus diterima. Hanya yang kita perlukan adalah bagaimana kita mengubah posisi diri kita terhadap televisi. Sekarang ini justru kebalikannya. Kita lebih banyak diubah oleh televisi. (Pikiran Rakyat, 30/8/00)

Tonny Trimarsanto menyatakan dalam "Pluralisme Peta Televisi Nasional", sesungguhnya bisa dikatakan bahwa, baik secara struktur pertumbuhan industrial, televisi nasional mengalami kemunduran, karena tidak tumbuh secara sehat. Ada kepentingan yang secara sengaja dikemas. Barangkali kecenderungan inilah yang pada akhirnya mendistorsi esensi hak publik. Hak publik pemirsa yang selama ini dipasung oleh adanya ideologi pragmatis industri televisi. Saat inilah, waktu yang paling tepat untuk bisa membangun sebuah stasiun televisi yang secara utuh berorientasi pada publik. (Pikiran Rakyat, 27/8/00)

Rachmah Ida, seorang staf pengajar ilmu komunikasi FISIP Unair, dalam tulisannya " Refleksi Pertelevisian Indonesia" menyatakan, romansa orde baru masih sulit untuk ditinggalkan oleh beberapa stasiun televisi yang ada sekarang ini. Kisah-kisah sinetron Indonesia misalnya, masih sarat dengan muatan kelas dominan, baik golongan kelas menengah-atas dan dominasi nilai-nilai patriarkhi yang masih kuat. Ketimpangan dalam penyajian tema-tema program dan tayangan informasi dan hiburan masih terlihat. Representasi kelas menengah-atas tetap mengedepan dalam pemberitaan dan sinetron-sinetron hiburan di televisi, termasuk iklan dalam hal ini. Pemilihan sumber berita, objek berita, dan pemilihan peran-peran pemain dalam hiburan mengalami ketimpangan proporsi. (Surabaya Post, 30/8/00)

Dalam artikelnya "Kepentingan Komunikasi Global dan Dualisme", Fereshti Nurdian Dihan menulis, salah satu dampak perkembangan TV adalah makin kuatnya penetrasi terhadap berbagai perilaku konsumen, termasuk pula dalam hal ini yaitu perilaku konsumerisme. Padahal konseptual konsumerisme sangat tidak relevan apabila dikaitkan dengan budaya nasional. Refleksi di atas kasus ini dapat terlihat dari iklan yang tidak mendidik (lihat kasus iklan Bentoel Mild yang dikomplain oleh pemirsa dan YLKI). (Suara Merdeka, 24/8/00)

Pengajar Universitas Negeri Semarang Bambang Endroyo dalam tulisannya "Alternatif Pengajaran Lewat Media" menyatakan, untuk memproduksi suatu program pengajaran lewat media, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak. Guru sebagai ahli bidang studi yang akan menentukan materi, para ahli media sebagai media spesialis yang akan menerjemahkan ide guru menjadi bentuk program pengajaran lewat media, produser yang memproduksi program itu secara masal, serta pelayanan media (misalnya) melalui perpustakaan dan pusat sumber belajar. (Suara Merdeka, 2/9/00)

Upaya memperbaiki kualitas dari program-program yang ditayangkan di layar televisi membutuhkan kritik masyarakat yang konsisten dan mendasar. Di sisi lain, harus ada komitmen dari semua pihak mengenai kualitas tayangan tersebut dan bukan hanya tanggung jawab stasiun televisi semata. Untuk memperbaiki kualitas tayangan, yang harus tegas adalah ketiga unsur, yaitu pengisi acara, stasiun televisi dan lembaga masyarakat yang berperan aktif. Demikian diungkapkan oleh Arswendo Atmowiloto. (Republika, 2/9/00)