arsip | wedsite | other blog | kirim sms

12.9.03  

binvung banyak kerjaan. skripsi, proposal ina, bapekis, sheraton, farhan, website, kost-an, hua. banyak banget ya. hmmm...komputer masih belum diambil. gimana ya.

Irfan Toni H | 11:56 AM |


11.9.03  

udah ada di kantor lagi. huhuhu. mau ngeprint skripsiku. tapi ngga enak karena banyak orang. wadduh, gimana ya. :) udah deadline banget nih.

Irfan Toni H | 10:15 AM |


10.9.03  

http://www.joshuasuherman.com/Sinetronku.htm
http://www.joshuasuherman.com/Merchandiseku.htm

Coba cek kedua link diatas...trus perhatiin content-nya yang
ada disitu..bener nggak sih..??

Irfan Toni H | 4:12 PM |
 


Am I A Terrorist?
by Dr. Shahid Athar


They call my people
blood thirsty terrorists
blowing up buildings and planes
with dynamite tied to their chests
killing civilians by the hundreds
-but am I a terrorist?

True, some of my people
of names similar to mine
do act violently in despair
when their human rights are stolen
when their suffering and plights are ignored
in the refugee camps of Sabra and Chatala.
- but am I a terrorist?

They are not living their faith
just acting on emotions and hate
full with the revenge for the oppressor
with little regard for innocent lives
they are just Muslim in name
-but am I a terrorist?

Islam, the religion of peace
teaches Muslims to respect life
"If anyone had killed one man
except in lieu of murder and mischief
it is as if he killed the whole mankind"
Same verse in Torah and Quran too
by the same God
-how could I be a terrorist?

Prophet Mohammad, Peace be upon him
was a mercy to mankind
he cared for the poor, elderly and sick
even if not from his faith
he stood in respect for a funeral procession of a Jew
he let a cat take a nap on his robe
not to disturb her, he cut his robe
He told Muslim armies not to hurt women and kids
sick and old, cut trees or kill animals just for fun
I love him so much
-how could I be a terrorist?

But why do they call us terrorists?
why not call the IRA, Red Army, Tamil Tigers
Militant Hindus or Serbians terrorists.
Why not call the militia
blowing up government buildings
and killing innocent civilians a terrorist
No, the term is reserved for Muslims
- and I am a Muslim.

We are the victims of terrorism
in Palestine, Kashmir, Bosnia and Kosova
by individuals and states
with knives, guns, tanks and rape
-who is a terrorist?

I remember Serb soldiers came to my house
they killed my father and my big brother too
I miss them so much.
They raped my mom and my sister too.
I loved them so much.
Then they burned my house, my books and toys too
- and they call us terrorists.

I got scared, and fled into the woods
joined a caravan going to the border
migrating from oppression to a land of peace and freedom

I have walked two days and climbed a mountain
I am hungry and thirsty, tired and sick
My legs are weak and my feet are bleeding
unable to walk anymore
- do I look like a terrorist?

I am not a terrorist
I am a Muslim
seeking love, peace and justice
My name is Mehmet Poturvic
I am a 6 year old from Kosova
Dear God, please help me and my people.
"You alone I worship, from you alone I seek help"

Shahid Athar
April 18, 1999
Presented at an interfaith conference on 4-18-99 on "Islam and Terrorism" at the Islamic Society of North America, Plainfield, Indiana.

Irfan Toni H | 2:14 PM |
 

Bismar Siregar. Mantan Hakim Agung, Mahkamah Agung Republik Indonesia (1984-1995) ini dilahirkan di Sipirok, 15 September 1928. Pria ini dikaruniani tujuh orang anak, dan 14 orang cucu dari istrinya yang bernama, Yunainen Damanik. Prof. Bismar Siregar SH, menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum pertama kali di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat-Universitas Indonesia pada tahun 1956. Kemudian, melanjutkan ke beberapa universitas di luar negeri, diantaranya University of Nevada, Reno, Amerika Serikat (1973) dan Rijks Universitet di Utrecht Belanda (1990).

Pengalaman kerja, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar ini antara lain sebagai Jaksa di Kejaksaan Pengadilan Negeri Palembang (1957), Makasar (1959) dan Ambon (1960). Selain itu juga beliau pernah menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang (1961), Pontianak (1962-1968) dan di Jakarta Timur (1971-1979) dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (1980-1982).

Di Bandung pada tahun 1980-1982, beliau menjadi Hakim Tinggi, setelah sebelumnya di Jakarta bertugas sebagai Panitera Mahkamah Agung RI (1969-1971). Sedangkan di Medan, Sumatra Utara, Prof Bismar menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Hakim Agung, MA RI (1984-1995).

Sejumlah organisasi yang pernah dimasuki pria yang memiliki hobi menulis, melukis dan dakwah ini antara lain di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) duduk sebagai Dewan Penasihat ICMI dan juga di DPP Partai Persatuan Pembangunan. Di dalam dunia pendidikan, namanya tercatat sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Selain itu, Prof. Bismar juga menjadi anggota Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

Irfan Toni H | 11:47 AM |


9.9.03  

pengen pergi ke sheraton bandara. alhamdulillah, mudah-mudahan berhasil. amin. :)

Irfan Toni H | 12:05 PM |


8.9.03  

Membeli Raskin Pun Tak Mampu

SEBUAH rumah papan berdiri di antara pepohonan yang mulai meranggas. Rumah tersebut berlantai tanah dan berdebu. Dua kursi, satu meja, dan satu balai reyot terlihat di ruang tamu. Tidak ada satu pun barang berharga tampak di ruangan itu.

Rumah tersebut memiliki dua kamar tidur sempit berukuran sekitar 1,5 meter x 2 meter persegi yang juga berlantai tanah. Di masing-masing kamar terdapat dipan kusam tanpa kasur atau tikar. Tak terlihat lemari atau buntalan berisi pakaian.

Tidak jauh dari kamar itu terdapat dapur yang diterangi sinar Matahari yang menerobos lewat celah-celah dinding dari anyaman bambu. Di sana terdapat tempayan besar berisi tak lebih dari satu liter beras sehingga beras tersebut seakan hanya menutupi bagian dasar tempayan.

Ada pula tiga potong dan satu sisir pisang yang sudah layu digeletakkan dekat tungku. Namun, tak secuil pun hidangan matang yang tampak di dapur, padahal waktu makan siang hampir berlalu.

Rumah amat sederhana itu milik Trisnowiyadi (60), warga Dukuh Gorolangu, Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Trisnowiyadi yang tinggal bersama seorang menantu dan tiga cucu itu adalah sebuah keluarga yang digolongkan sangat miskin oleh Kecamatan Samigaluh. Masih ada 13 keluarga lainnya yang juga masuk dalam keluarga sangat miskin di dukuh itu.

Saking miskinnya, Trisnowiyadi belum tentu bisa makan sehari dua kali. Dia mengaku, keluarganya lebih sering makan sehari satu kali. Itu pun dengan bahan makanan apa adanya. "Ada ketela, saya makan ketela. Ada nasi, ya, saya makan nasi. Pokoknya apa saja," katanya.

Siang itu, pekan lalu, Trisnowiyadi beruntung bisa makan nasi dengan garam dan sedikit kecap. Buat Trisnowiyadi, lauk-pauk sekelas tempe pun adalah makanan yang sangat mewah. Pasalnya, keluarganya belum tentu dapat menikmati gurihnya tempe seminggu atau dua minggu sekali.

Jangan lagi sebut daging, telur, atau ikan, karena semua lauk itu mungkin hanya ada dalam mimpinya. Kalau tidak ada ternak yang sekarat karena keracunan, cerita Kepala Dukuh Gorolangu Didik Diniyatmoko, keluarga-keluarga sangat miskin di dukuhnya tak akan bisa makan daging. Ada sebuah kebiasaan di dukuh itu, ternak yang terkena racun disembelih dan dagingnya dibagikan kepada warga.

Menantu dan cucu-cucu Trisnowiyadi, sehari-hari, juga makan sekali atau dua kali dengan menu yang sama. Itu sebabnya, cucunya terkecil bernama Herni Pujilestari, yang berusia satu tahunan itu, terlihat kurang gizi. Matanya cekung, hidungnya terus mengeluarkan ingus, dan gerakannya tidak selincah anak-anak lain seusianya.

Selain tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan secara layak, Trisnowiyadi pun tak sanggup memenuhi kebutuhan sandang. Dia mengaku hanya memiliki dua setel pakaian. Satu setel dia pakai ketika ditemui Kompas. Pakaian yang dia kenakan berupa kaus yang sudah sobek di bagian pundak dan celana pendek hitam yang warnanya memudar.

POTRET kemiskinan di Kulonprogo terlihat begitu nyata dan menyedihkan. Jumlah keluarga miskin dan sangat miskin pun terus bertambah tahun ini. Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Kulonprogo, tahun ini jumlah keluarga miskin mencapai 51.542 keluarga atau 179.102 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 36.086 keluarga tergolong sangat miskin, sisanya 15.456 keluarga tergolong miskin. Jumlah keluarga sangat miskin tahun ini lebih tinggi dari tahun 2002 yang mencapai 35.400 keluarga.

Kategori keluarga miskin sekali adalah keluarga yang tidak mampu makan dua kali sehari, lantai rumah dari tanah tanpa plester semen, dan memiliki pakaian tidak lebih dari dua pasang. Adapun keluarga miskin dapat mencukupi kebutuhan makan dua kali sehari. Namun, makannya itu pun hanya dengan lauk-pauk seadanya. Keluarga sangat miskin tersebar di hampir seluruh kecamatan di Kulonprogo bagian utara, seperti Samigaluh dan Kokap.

Di Dukuh Gorolangu yang berpenduduk 54 keluarga, tercatat 14 keluarga sangat miskin dan tujuh keluarga miskin. Di Tetes, sebanyak 25 dari 47 keluarga yang menghuni dukuh itu tergolong sangat miskin.

Itu adalah data di atas kertas. Kenyataannya diyakini jauh lebih banyak dari itu. Menurut Didik, tidak semua keluarga miskin di dukuhnya terdata. Hal yang sama dikatakan Maryadi, Kepala Dukuh Tetes. "Kalau mau jujur, seluruh warga desa ini miskin karena pendapatan mereka sangat minim," kata Maryadi yang mengaku hanya berpenghasilan rata-rata Rp 50.000 sebulan.

BANYAK faktor yang membuat kawasan utara Kulonprogo begitu miskin. Salah satunya adalah faktor alam yang tidak bersahabat. Setiap musim kemarau, kekeringan melanda kawasan itu hingga membuat pepohonan meranggas, sawah-sawah kering, palawija pun enggan tumbuh.

Air menjadi barang yang begitu langka dan tak terjangkau. Bayangkan, untuk membeli air satu tangki berisi 5.000 liter, mereka harus mengeluarkan Rp 50.000-Rp 80.000. Padahal, kata Didik, pendapatan penduduk sangat miskin tak lebih dari Rp 16.000 sebulan.

Penduduk miskin yang hampir seluruhnya menjadi buruh tani itu pun hanya bisa pasrah. Tak ada lagi permintaan mengerjakan sawah yang mendatangkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup selama beberapa bulan. Kondisi seperti itu dirasakan warga Dukuh Gorolangu dan Tetes sejak 4-5 bulan lalu.

Sebenarnya, banyak penduduk miskin yang menggantungkan hidup dari panen cengkeh. Namun, tahun ini harga cengkeh jatuh hingga Rp 12.000 per kilogram akibat permainan para tengkulak. Dibanding ongkos pemeliharaan, perawatan, dan biaya panen, harga sebesar itu tak memberikan keuntungan apa-apa. "Bahkan, untuk membayar utang biaya perawatan pun tak cukup," kata Didik.

Lalu apa yang terjadi? Kini, warga terpaksa menjual kayu jati, kelapa, mahoni, sonokeling, dan sewon yang diwariskan orangtua mereka. Tanaman bernilai ekonomis itu mereka babat, meski belum cukup umur, dan dijual dengan harga murah. Ada warga yang menjual delapan gelondong kayu jati ditambah sembilan gelondong kayu kelapa dengan harga Rp 1 juta. "Ini kan murah sekali. Tapi mau bagaimana lagi, mereka terlalu miskin," kata Didik menceritakan kondisi lingkungannya.

Saat ini pembabatan pohon- pohon tampaknya sudah tidak terkendalikan lagi. Suara mesin pemotong terdengar bersahut-sahutan dari atas Bukit Menoreh. Jajaran bukit curam itu pun terlihat gundul di sana-sini. Setiap hari setidaknya ada tiga truk yang mengangkut kayu dari Dukuh Gorolangu.

Didik berpendapat, pembabatan Bukit Menoreh hanya akan membuat warga semakin miskin di masa mendatang. Dengan pembabatan bukit, daerah resapan air yang langka akan semakin langka. Ini akan membuat bencana kekeringan semakin hebat di masa mendatang. Di luar itu, bencana longsor yang hampir setiap musim hujan terjadi di Kulonprogo akan semakin mengganas dan memakan korban jiwa lebih banyak lagi. Jika itu terjadi, prasarana yang terbatas di kantong-kantong kemiskinan pun akan musnah.

Faktor-faktor di atas seakan saling berkaitan dan tak terputuskan sehingga kehidupan warga Kulonprogo semakin susah dan tingkat kemiskinan semakin tinggi. Ini sudah seperti buntalan benang kusut yang sulit dicari ujungnya agar bisa diurai satu per satu.

Untuk menanggulangi kemiskinan di kawasan itu, pemerintah baru mampu memberikan beras bagi masyarakat miskin (raskin) seharga Rp 1.000-Rp 1.100 per kilogram. Masing-masing keluarga miskin memperoleh jatah 10-15 kilogram. Namun, cara itu pun tidak bisa mengatasi masalah. Pasalnya, banyak keluarga sangat miskin tak bisa membeli raskin. "Bagaimana mau beli raskin, duit Rp 10.000 setiap bulan saja belum tentu mereka punya," kata Didik.

Ia menambahkan, ada lima keluarga sangat miskin di dukuhnya yang sama sekali tidak mampu membeli raskin. Untuk mengatasinya, biasanya warga lainnya yang sebenarnya sama-sama miskin berpatungan untuk menebuskan raskin buat mereka.

Ketidakberdayaan secara ekonomi tentu saja membuat warga miskin begitu tertekan. Didik mengatakan, empat warganya stres berat dan putus asa akibat tekanan ekonomi. Bahkan, seorang warganya, Azis, anak Trisnowiyadi yang diceritakan di awal tulisan ini, beberapa bulan lalu memilih bunuh diri karena tak sanggup membayar utang.

Kemiskinan memang kerap membuat orang buta akan segalanya.... (BUDI SUWARNA)

Irfan Toni H | 5:18 PM |
 

capek. aku merasa ngga enak badan nih. pusing banget. padahal nanti malam mau bikin sesuatu. huhuhu. aku mau pulang ah.

Irfan Toni H | 5:17 PM |
 

liqo nga ya. kok error nih wbloggar. huhuhuh. kenapa sih?

Irfan Toni H | 1:13 PM |
 

ooh. pantesan. blogger lagi down kemarin. jadi aku ngga bisa mosting dari web. huhuhuh. padahal lagi ada banyak yang mau diceritain. tapi skr jadi males buat nulis lagi.huhuhu. gimana nih.

capek dan ngantuk skr. ih berangkat jam 6 pagi sampe sini jam 9.30. lama banget kan? ada perasaan ngga enak. tapi sudalah.

Irfan Toni H | 12:47 PM |